CATATAN.CO.ID, Kasongan – Mantan Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Olahraga Kabupaten Katingan berinisial RI ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Katingan terkait dugaan tindak pidana korupsi pembangunan gedung olahraga (GOR) di Kompleks Lapangan Sport Center, Kasongan, Jumat, 29 November 2024.
Sebelumnya, pada Jumat, 15 November 2024, Kejari Katingan juga menetapkan dua tersangka lain dalam kasus tersebut, yakni RA yang merupakan aparatur sipil negara (ASN) dan AP dari pihak pelaksana. Dengan penetapan RI, total sudah ada tiga tersangka dalam perkara ini.
Kepala Kejari Katingan, Subari Kurniawan, didampingi Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Hadiarto dan Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Ronald Peroniko, menyampaikan bahwa penetapan RI sebagai tersangka dilakukan setelah penyidik menyita sejumlah barang bukti berupa sisa material pembangunan GOR tahap IV (material onsite) pada Kamis, 28 November 2024.
“Tim penyidik Kejaksaan Negeri Katingan pada Jumat, 29 November 2024, kembali menetapkan satu orang tersangka. Sehingga, saat ini sudah ada tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan gedung olahraga (GOR) Kabupaten Katingan tahap IV tahun anggaran 2023,” ujar Subari Kurniawan.
RI, yang sebelumnya menjabat sebagai pengguna anggaran pada Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Olahraga Kabupaten Katingan tahun anggaran 2023, diduga terlibat dalam penyelewengan anggaran senilai Rp 6.062.000.000.
Dalam pelaksanaannya, proyek pembangunan GOR ini diduga penuh dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menyebabkan pekerjaan tidak selesai.
Kajari mengungkapkan bahwa pembangunan GOR Katingan dimulai sejak perencanaan pada tahun 2019, dilanjutkan pembangunan tahap I tahun 2020, tahap II tahun 2021, tahap III tahun 2022, dan tahap IV tahun 2023. Namun, hingga tahap IV yang telah menghabiskan dana APBD Kabupaten Katingan sekitar Rp 14 miliar, gedung tersebut belum dapat digunakan.
“Permasalahan muncul di setiap tahapan pelaksanaan, terutama pada tahap IV dengan nilai kontrak Rp 6.062.000.000. Pelaksana kegiatan tidak mampu menyelesaikan pekerjaan hingga akhir masa kontrak dengan progres yang tidak sesuai kondisi lapangan,” jelasnya.
Selain itu, temuan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) menunjukkan adanya kelebihan pembayaran yang seharusnya menjadi tanggung jawab pelaksana, tetapi malah dibebankan kepada pihak lain. (C6)