CATATAN.CO.ID, Sampit – Ketua DPRD Kotawaringin Timur (Kotim), Rimbun, menyoroti penurunan drastis dana bagi hasil sawit untuk daerahnya, dari Rp 42 miliar pada 2024 menjadi hanya Rp 16 miliar di 2025. Menurutnya, kondisi ini ironis mengingat Kotim memiliki hampir satu juta hektare perkebunan sawit, yang menempatkannya di peringkat tiga nasional.
“Penurunan ini sangat merugikan daerah. Harus jelas penilaian dan tolak ukurnya. Jangan sampai kita punya lahan sawit luas, tapi masyarakat tetap susah,” tegas Rimbun, Kamis, 9 Oktober 2025.
Selain itu, ia juga menyoroti kewajiban perusahaan besar swasta (PBS) kelapa sawit memberikan plasma 20 persen di kebun inti sesuai Permentan Nomor 6 Tahun 2007 dan Nomor 98 Tahun 2013. Menurutnya, aturan ini wajib ditegakkan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan daerah.
“Tidak ada lagi istilah plasma di luar HGU. Kalau tidak dipenuhi, PBS harus ditindak,” ujarnya.
Rimbun menjelaskan bahwa pihaknya telah menemui Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk audiensi membahas tindak lanjut Perpres Nomor 5 Tahun 2025 dan penertiban kawasan hutan di areal perkebunan.
“Kami datang meminta kejelasan aspirasi dari kepala desa, ketua koperasi, dan perwakilan PBS. Kami juga bertemu pimpinan Satgas, bersurat ke tim Satgas PKH, Agraria, dan kemarin kepada anggota DPD Pak Teras Narang,” paparnya.
DPRD, kata dia, siap memfasilitasi sosialisasi aturan ini dengan mengundang seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kepala desa hingga instansi teknis.
“Kita tidak ingin persoalan ini menjadi bola liar yang membuat situasi daerah tidak kondusif. Alhamdulillah, masyarakat kita bisa memahami dan bersabar menunggu hasil kerja tim PKH di lapangan,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa DPRD tunduk pada kebijakan pemerintah pusat selama tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.
“Kalau pelaksanaannya benar-benar untuk rakyat, kita dukung. Tapi kalau tidak, kita akan menyampaikan keberatan ke pusat,” tegasnya.
Rimbun juga mengingatkan agar DPRD dilibatkan sejak awal dalam proses kebijakan.
“Kami tahu kondisi lapangan. Jangan sampai kami baru diminta turun ketika masalah sudah panas, seperti pemadam kebakaran,” katanya.
Ia menambahkan bahwa penertiban kawasan bukanlah penyitaan, melainkan penataan yang mengacu pada aturan. Namun, kebijakan efisiensi anggaran tahun ini membuat sejumlah program di Kotim tertunda.
“Kita harus mandiri dan jangan sampai ada kebocoran. Ini yang terus kita kawal,” pungkasnya. (C-21)








