CATATAN.CO.ID, Sampit – Warga dari tiga desa di Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), menghentikan aktivitas perkebunan milik PT LMS, Rabu, 26 Maret 2025. Mereka menilai lahan mereka telah diserobot oleh perusahaan sawit tersebut tanpa hak yang jelas.
Aksi ini dilakukan oleh masyarakat Desa Sungai Puring, Kuluk Telawang, dan Tumbang Ngahan yang mengklaim tanah mereka telah diambil alih dan ditanami sawit tanpa izin. Mereka memasang spanduk peringatan di area yang disengketakan sebagai bentuk protes.
Koordinator aksi, Delie S. Uan, mengungkapkan bahwa permasalahan ini bermula dari Surat Keputusan (SK) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalimantan Tengah dan BPN Kotim tahun 2015. Dalam SK tersebut, tanah milik warga telah ditetapkan sebagai bagian dari program sertifikat redistribusi lahan secara gratis.
Namun, warga mengaku tidak pernah menerima sertifikat tersebut. Setelah ditelusuri, sertifikat diduga telah diterima oleh pihak tertentu dan diserahkan ke kelompok lain yang ingin mengambil keuntungan sendiri.
“Seharusnya, setelah sertifikat terbit, langsung diserahkan kepada warga yang berhak. Tapi sampai sekarang, kami tidak pernah melihat atau menerimanya,” kata Delie.
Menurut SK BPN, lahan warga yang harusnya bersertifikat mencakup:
– Desa Tumbang Ngahan: 47 bidang, luas 79,3 hektare.
– Desa Sungai Puring: 377 bidang, luas 590 hektare.
– Desa Kuluk Telawang: 175 bidang, luas 252,2 hektare.
Merasa hak mereka dirampas, warga telah melaporkan dugaan penggelapan sertifikat ke pihak kepolisian. Namun, mereka mengaku tidak mendapat kepastian hukum yang jelas.
“Kami sudah melapor ke Polres Kotim, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Kami hanya mendapat Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP),” ungkap Delie.
Warga juga mempertanyakan keputusan kepolisian yang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tanpa memberitahukan pelapor.
“Anehnya, SP3 justru diberikan kepada pihak terlapor, bukan kepada kami sebagai pelapor. Ini yang menjadi tanda tanya besar,” tegasnya.
Karena tidak mendapatkan kejelasan dari pemerintah maupun aparat hukum, warga akhirnya mengambil langkah sendiri dengan menghentikan aktivitas perusahaan. Mereka memasang spanduk di area perkebunan sawit yang diklaim sebagai hak mereka.
“Yang kami klaim sesuai dengan sertifikat, baik luas maupun titik koordinatnya. Kami bisa mempertanggungjawabkan itu,” ujar Delie.
Mereka berharap aksi ini bisa membuka mata pemerintah dan aparat hukum agar keadilan ditegakkan.
“Kami hanya ingin hak kami dikembalikan. Sertifikat yang menjadi bukti kepemilikan harus diberikan kepada yang berhak, bukan diselewengkan oleh pihak tertentu,” pungkasnya. (C20)