KONDISI sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di kelas menengah ke bawah menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sekundernya, seperti pemenuhan kebutuhan rumah tangga, dan kebutuhan transportasi seperti kendaraan bermotor, mobil dan lain sebagainya.
Rendahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan kendaraan bermotor ini dimanfaatkan oleh lembaga keuangan yang menyediakan dana tunai bagi yang membutuhkannya. Selama ini lembaga keuangan yang membantu kebutuhan masyarakat adalah lembaga perbankan, dan lembaga ini pada awalnya hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan uang nasabah, kemudian berkembang menjadi lembaga yang berfungsi menyalurkan dana kredit kepada masyarakat.
Di Indonesia, lembaga pembiayaan merupakan salah satu lembaga keuangan non bank yang relatif baru, yang keberadaannya baru dikenal secara terbatas pada saat di- keluarkanya Paket Deregulasi Ekonomi pada tahun 1988, yang selanjutnya disebut Pakto 88 dan Paket Deregulasi Ekonomi 28 Desember 1988, yang selanjutnya disebut Pakdes 88. Maksud dari kedua paket kebijakan ini, diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi mikro maupun makro di Indonesia, yang pada saat itu mengalami kemunduran seiring terjadinya krisis ekonomi dunia pada tahun 1988.
Secara yuridis pengakuan terhadap lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia pertama kali sejak dikeluarkanya Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun l988 tentang Lembaga Pembiayaan, yang bertujuan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dana masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran butir a, yang dirumuskan: ”bahwa dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi, maka sarana penyediaan dana yang dibutuhkan masyarakat perlu lebih diperluas, sehingga peranannya sebagai sumber dana pembangunan makin meningkat.
Dikarenakan timbulnya banyak kebutuhan masyarakat akan kredit sehingga bertumbuhnya Lembaga pembiyayaan yang membantu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menyediakan fasilitas kredit, sehingga makin berkembang pola perikatan antara individu dan perusahaan pembiyayaan dalam mengikatkan mereka dalam sebuat perjanjian perikatan.
Menurut undang-undang, perikatan antara pembeli (debitur) dan pihak penjual kendaraan (kreditur) telah hapus karena kendaraan yang di beli telah hilang di luar kesalahan debitur. Lebih jelas lagi, Pasal 1381 KUH Perdata yang mengatur tentang hapusnya perikatan, mengatur bahwa:
“Perikatan hapus karena pembayaran; karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaharuan hutang; karena perjumpaan utang atau kompensasi; karena percampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terhutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini; dan karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.”
Mengenai, musnahnya barang yang terutang menurut Pasal 1444 KUH Perdata, yaitu:
“Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama ditangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dan kewajiban untuk mengganti harga.”
Terkait dengan permasalahan ini pada ketentuan hukum yang berlaku dalam KUH Perdata, jika terjadi kehilangan terhadap barang yang terutang yang dilakukan dengan tidak sengaja oleh debitur, maka debitur tidak diwajibkan untuk menyelesaikan pembayaran terhadap cicilan barang tersebut.
Namun, jika dilihat dari segi keadilan akan sangat merugikan pihak Kreditur karena ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari hilangnya barang tersebut, sehingga saat ini telah berkembang pemikiran untuk mengasuransikan risiko kerugian melalui perusahaan Asuransi. Perusahaan Asuransi yang nantinya akan melakukan penanggungan risiko atas kejadian-kejadian yang diperjanjikan untuk ditanggung.
Sehingga tidak heran kalau kita disodorkan untuk membayar biaya asuransi oleh pihak Kreditur ketika pertama kali mengambil kredit kendaraan. Dengan hal ini, maka jika terjadi kehilangan suatu hari (asalkan diperjanjikan dalam perjanjian asuransinya), maka Pihak Asuransi akan membayarkan kepada Kreditur sejumlah biaya yang ditanggung, dan Kreditur nantinya bahkan mungkin bisa menggantikan kendaraan yang diambil debitur dengan kendaraan baru.Dalam hal ini, harus terlebih dahulu melaporkan kehilangan pada polisi. Bukti laporan polisi tersebut dapat diberikan kepada kreditur (pihak yang menjual mobil) sebagai bukti bahwa kendaraan yang di cicil telah hilang bukan karena kesalahan yang dilakukan debitur melainkan dicuri oleh orang lain. Lalu segera Melaporkan ke pihak pemberi kredit akan kejadian tersebut dan atau penyedia asuransi kendaraan.
Setelah mendapat surat polisi, persiapkan dokumen-dokumen penting seperti Polis Asuransi Kendaraan Bermotor, fotokopi STNK, dan SIM disertakan kedalam satu laporan ke pihak perusahaan asuransi mobil. Setelah proses penyerahan dokumen selesai, pihak kepolisian dan asuransi akan memeriksa kasus, untuk memastikan keabsahan kejadian tersebut. Bila terbukti sesuai dengan klausul dan definisi dari korban pencurian maka klaim dapat diproses. Lalu debitur akan diberikan surat pengantar dari pihak asuransi untuk membantu pembuatan surat blokir STNK.Diwajibkan debitur membuktikan kejadian tak terduga yang dialami oleh debitur kepada kreditur. Kasus ini tidak dapat dibawa ke ranah hukum pidana karena dalam kasus ini murni mengenai perikatan, perjanjian dan musnahnya barang yang terhutang berarti masuk dalam ranah hukum perdata. (Cliff Antonio Librato Singarimbun, Mahasisawa Fakultas Hukum, STIH Graha Kirana)