Perjuangan Pahlawan Pangan di Musim Kering, Ladang Pertanian yang Merindukan Hujan

Seorang petani, Riko (52) menyemprotkan air di ladang pertaniannya, Perum. Betang Raya, Jalan Jenderal Sudirman Km 6, Sampit, Kamis, 24 Agustus 2023.
Seorang petani, Riko (52) menyemprotkan air di ladang pertaniannya, Perum. Betang Raya, Jalan Jenderal Sudirman Km 6, Sampit, Kamis, 24 Agustus 2023.

CATATAN.CO.ID, Sampit – Di tengah hamparan daun tanaman terung yang menguning. Seorang pria menyemprotkan air di atas ladang pertaniannya. Raut Wajah penuh harapan tersorot teriknya sinar mentari sore, mengharapkan hujan yang tak kunjung datang, Kamis, 24 Agustus 2023.

Hampir 1 bulan hujan tak kunjung datang. Jelas, ladang pertanian di kawasan Betang Raya, Kelurahan Pasir Putih, Jalan Jenderal Sudirman Km 6, Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur ini merindukan guyuran air hujan.

Usai menyemprotkan air, lelaki bertopi itu meletakkan peralatannya. Dia menyapa dengan senyuman seraya mengajak ke tepi ladang untuk duduk bersama di sebuah bangku kayu panjang di bawah pohon rindang.

Pria itu kemudian mengeluarkan rokok dan pemantik dari sakunya. Tepat setelah isapan pertama dia langsung berbicara.

“Sudah hampir 1 bulan tidak hujan. Sempat hujan satu kali, tapi hanya sebentar dan seperti membilas debu saja,” ucap Riko (52).

Pada musim kering ini, Riko yang telah bertahun-tahun menjadi petani mesti berjuang mempertahankan produktivitas ladang.

Bukan tanpa alasan, dia memiliki keluarga kecil. Yakni, seorang istri dan seorang anak yang harus dinafkahi. Sang anak saat ini telah di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan pertanian.

Sama seperti orang tua pada umumnya, Riko juga menaruh harapan pada anaknya. Dia ingin menyekolahkan sang anak hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Sehingga di masa depan, sang anak bisa menerapkan ilmu-ilmunya dan berkontribusi dalam mewujudkan kemerdekaan pangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ya, jelas saya ingin anak saya kuliah. Orang tua mana yang tidak mau anaknya bisa kuliah,” tutur Riko.

Akan tetapi, di musim kering ini. Dia benar-benar harus memutar otak untuk menggapai harapan besar keluarga kecilnya. Salah satu tantangannya adalah bagaimana tanaman muda yang sensitif terhadap teriknya paparan sinar matahari selama musim kemarau tetap bisa tumbuh dan berkembang.

Oleh karena itu, dia mempertahankan satu tanaman yang sudah menguning serta tiada berguna lagi agar menjadi peneduh bagi setiap satu tanaman muda.

Dengan kata lain, dia yang menggunakan 2.500 m2 lahannya untuk bercocok tanaman. Setengah ladangnya non-produktif karena hanya berfungsi sebagai pelindung tanaman muda.

Tentu hal ini cukup ironis. Mengingat, Riko masih harus berjuang di musim kemarau ini, di mana dia harus menyiramkan air dua kali sehari secara manual pada satu persatu tanamannya.

Riko menggunakan air yang berasal dari dua buah sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air ladangnya. Tentu, deru mesin pompa air tersebut masuk ke dalam kalkulasi tambahan biaya operasional produksi.

“Padahal, kalau hujan terus, saya tidak perlu menyiram 2 kali sehari. Saya cukup seminggu 1-2 kali saja menyiram tanamannya,” imbuh Riko.

Di tengah perbincangan, tiba-tiba istri Riko, Dewi Martini (44) keluar dari rumah membawakan dua cangkir kopi. Ditawarkannya kopi itu untuk diseruput bersama di bawah pohon rindang dan angin sore yang sesekali datang. Lalu, kembali berbincang.

“Selain masalah kekeringan. Kami juga dihantui problematik pupuk bersubsidi,” ujarnya sambil menaruh kembali cangkir kopi yang telah dia seruput dengan nikmatnya.

Dia menuturkan, pupuk bersubsidi jarang menghampiri. Padahal, harga pupuk bersubsidi tentu lebih bersahabat di dompetnya sebagai petani, yaitu hanya berkisar Rp 135 ribu sampai Rp 140 ribu saja.

Sedangkan, harga pupuk non-subsidi bisa mencapai Rp 200 ribu – Rp 230 ribu. Dengan harga setinggi itu, para petani harus merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi biaya produksi.

Terlebih dengan apa yang harus dihadapi Riko dan teman-teman seperjuangannya yang bercocok tanam di daerah berpasir. Dia menjelaskan, ladang berpasir membutuhkan pupuk lebih banyak dibandingkan media tanam lainnya.

“Kalau dibandingkan dengan lahan gambut atau tanah. Jelas, ladang berpasir perlu lebih banyak pupuk dan perawatannya juga lebih ekstra. Karena cepat ditumbuhi rumput liar,” sebut Riko.

Sayangnya, sudah sekitar 9 bulan ini pupuk bersubsidi belum kunjung dia terima. Terpaksa dia gunakan pupuk non-subsidi.

Jalan terjal yang harus dihadapi Riko sebagai seorang petani tak hanya sampai di situ. Saat sudah panen pun, harga jual juga tidak pasti. Bahkan jika produksi sangat melimpah, kerap terjadi penurunan harga yang signifikan.

Padahal, waktu yang dibutuhkan untuk bertani terung jenis Jupita yang ditanam Riko selama 65 hari. Selain itu, dia menanam cabai pedas yang membutuhkan waktu 2-3 bulan untuk panen. Perlu waktu untuk mendapatkan hasil jerih payahnya.

“Kami hanya menjual Rp 6.000, di pasar harganya bisa sampai Rp 12.000. Harga-harga itu sudah dinikmati banyak tangan. Saya berharap pemerintah bisa membantu petani terkait masalah harga,” ujar Riko.

Namun, Riko tidak pernah menyerah. Dia yang istrinya hanya penjual jajanan tetap berjuang menjadi petani. Menghasilkan komoditas pangan yang bisa dikonsumsi. Demi Kemerdekaan Pangan NKRI.

Tak terasa, rokok di tangan sudah hampir habis terbakar. Saat itu, sambil memandangi langit yang cerah seakan berharap langit tersebut segera tertutupi awan gelap.

Pasalnya, jika ladang pertanian itu merindukan hujan. Maka, Riko juga merindukan tanaman hijau segar yang biasanya seperti mengajaknya berdansa.

Karena dengan tanaman hijau yang mengajaknya berdansa. Dia akan lupa dengan harga-harga pangan yang kerap dipermainkan.

Dan dengan tanaman hijau yang mengajaknya berdansa. Dia akan lupa dengan pupuk bersubsidi yang jarang menghampiri.

Tapi kini, tanaman hijau itu tidak berdansa. Mereka lesu, terpaku menanti siraman air hujan.

Musim kering yang saat ini melanda tidak lepas dari dampak fenomena El-Nino. Perlu diketahui, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sejak awal 2023 telah mengeluarkan peringatan bahwa akan adanya ancaman fenomena El-Nino.

Bahkan peringatan tersebut juga digaungkan orang nomor satu di Bumi Tambun Bungai, H Sugianto Sabran.

“Saya mengingatkan kepada masyarakat ancaman El-Nino, apalagi dari BMKG ada peringatan kemarau panjang,” ucapnya (27/07).

Menurutnya, suhu udara panas saat ini berbeda dengan 3-4 tahun yang lalu. Saat ini, ia merasa cuaca panas lebih terik daripada tahun-tahun sebelumnya. Fenomena el-nino lebih jauh lagi dapat berdampak kepada ketahanan pangan dan berpotensi memicu inflasi.

Lebih jauh terkait inflasi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kotim, Eddy Suherman telah melaporkan inflasi gabungan Palangka Raya dan Sampit pada Juli 2023.

“Inflasi gabungan Palangka Raya dan Sampit sebesar 0,09 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 117,52,” paparnya (01/08).

Kemudian, Inflasi tahun kalender (Juli 2023 terhadap Desember 2022) untuk gabungan Kota Palangka Raya dan Sampit tercatat sebesar 1,63 persen dan inflasi tahun ke tahun (Juli 2023 terhadap Juli 2022) sebesar 3,19 persen.

Legislator daerah setempat juga tidak tinggal diam. Mereka ikut bergerak agar kebijakan yang berpihak terhadap petani bisa dikukuhkan.

Tercatat, setiap fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotim telah mendukung Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) inisiatif tentang perlindungan petani untuk dibahas lebih lanjut.

Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Kotim, Sihol Parningotan Lumban Gaol mengatakan, Ranperda tentang perlindungan petani merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniakan masyarakat Kotim kehadiran petani sebagai pahlawan ketahanan pangan.

Menurutnya, sudah sepantasnya para petani didukung melalui berbagai elemen, baik ketersediaan bibit, kemudahan mendapatkan pupuk bersubsidi maupun non subsidi, serta keandalan para penyuluh dalam membina para petani di Kotim.

“Perlindungan petani di dalam perkembangan zaman yang semakin berkembang, sektor pertanian memiliki andil yang cukup besar pada hajat hidup orang banyak serta memberikan kontribusi yang nyata dalam kehidupan perekonomian dan pembangunan ekonomi perdesaan,” ujar Lumban Gaol.

Bahkan Fraksi Demokrat DPRD Kotim mengaku, telah mengambil langkah melalui dana aspirasi untuk mendukung para petani di Kotim dengan mengadakan berbagai macam alat pertanian seperti mesin potong rumput, air sprayer, dan hand tractor yang kami salurkan ke sejumlah kelompok tani.

Diharapkannya, dengan langkah kecil itu bisa menggerakkan fraksi atau pihak lain untuk mengambil langkah untuk berjuang demi kemajuan pertanian di Kotim.

Hal tersebut sekaligus menandakan bahwa semua pihak juga tidak tinggal diam. Semua unsur pemerintahan terkait tengah memperjuangkan keberlangsungan petani dalam menghadapi berbagai macam tantangan, termasuk tantangan di musim kering.

Karena bagaimanapun, peran petani sebagai pahlawan ketahanan pangan sangat vital. Seperti kata Bung Karno yang telah mengartikan akronim petani, yakni sebagai “Penyangga tatanan negara Indonesia” (Bung Karno, 1952). (C10)

Ucapan Selamat Lebaran Catatan 2024

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *