Radikalisme Masih Menjadi Tantangan Bangsa

Untitled 1
Radikalisme Masih Menjadi Tantangan Bangsa

CATATAN.CO.ID, Palangka Raya – Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Tengah Prof Khairil Anwar M.Ag mengungkapkan, berdasarkan hasil sejumlah survei yang dilakukan, radikalisme masih menjadi tantangan pembangunan bangsa. Hal itu disebabkan masih masih berkembangnya paham ekstrim (Radikalisme) di kalangan pemuda.

“Paham ekstrim kiri maupun kanan, masih berkembang. Kemudian paham intoleransi yang mengklaim kebenaran mutlak masih terjadi. Bahkan menurut berbagai hasil survei, akhir-akhir ini paham intoleransi lebih meningkat dibandingkan radikalisme dan ektrimisme,” tegas Khairil Anwar, ketika menjadi narasumber dalam kegiatan pembinaan paham keagamaan sebagai mana rilis diterima pada Selasa, 20 Februari 2024.

Hal yang masih memengaruhi berkembangnya paham radikalisme, jelas Khairil, turut ditunjang masih adanya pandangan, sikap, dan gerakan yang menolak ideologi Pancasila. Era revolusi industri 4.0 semakin mempercepat tsunami informasi hoaks, ujaran kebencian, dan post-truth (pasca kebenaran), dan masih adanya paham yang dinilai sesat dan menyesatkan.

Ia mengungkapkan, ada beberapa hasil survei penelitian tentang intoleransi dan radikalisme di kalangan pemuda dalam 10 tahun terakhir. Hasil temuan Lembaga Kajian Islam Perdamaian (LaKIP) pada tahun 2011, dari 100 sekolah tingkat SMP dan SMA Umum di daerah Ibukota terdapat 48,9 persen menyatakan setuju aksi-aksi kekerasan bernuansa keagamaan.

“Hasil temuan SETARA Institut menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran kebebasan beragama di tahun 2014 ada 134 peristiwa, di tahun 2015 ada 197, dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 203 peristiwa,” jelasnya.

Kemudian, lanjutnya. hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, tahun 2017, menemukan ada 34, persen responden yang terdiri dari anak muda setuju bahwa jihad adalah gerakan melawan non-Muslim. Hasil Alvara Reasarch Center (2017), menunjukkan 18,4 persen pelajar setuju khilafah. 17,4 persen mahasiswa setuju khilafah. Dan 23 persen mahasiswa setuju berjihad untuk khilafah.

Hasil survei PPIM UIN Jakarta (2018) menyatakan bahwa 58,5 persen siswa/mahasiswa memilih pandangan radikal. Dan, 46,09 persen guru/dosen memiliki pandangan radikal. Hasil penelitian BNPT (2018) menunjukkan bahwa 19,5 persen milenial Indonesia lebih setuju negara khilafah.

“Hasil survei Wahid Institut (2020) menggambarkan bahwa sikap intoleransi di Indonesia cenderung meningkat dari 46 persen hingga sekarang menjadi 54 persen. Kecenderungan meningkat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, kontestasi politik, ceramah yang bermuatan ujaran kebencian, dan unggahan bermuatan ujaran kebencian di media sosial,” katanya.

Untuk Kalteng, jelasnya, masih memiliki tantangan dengan potensi timbulnya radikalisme atau intoleransi masih menjadi fenomena di tengah masyarakat. Karena pada bulan Juni 2019, pernah Satgas Densus 88 menangkap sekitar 15 orang di Panarung Palangka Raya dan 15 orang di Gunung Mas yang terpapar radikalisme lewat pertemanan di Facebook.

Kemudian penangkapan MS terduka radikalis-teroris (MS) di salah satu hotel di Palangka Raya Desember 2021. Kedua kasus penangkapan tersebut diduga terpapar paham radikal dari Jamaah Ansharud Daulah (JAD), organisasi transnasional.

Potensi timbulnya paham menyimpang seperti Ahmadiyah, Syi’ah, Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara, sebagai penerus Al-Qiyadah Islamiyah, yang menyatakan sebagai Nabi). Munculnya maqam-maqam yang bisa berpindah dan dikeramatkan, seperti yang terjadi di Kabupaten Kapuas.

“Timbulnya paham-paham yang sesat atau menyimpang dari Islam rahmatan lil’alamin (ahlussunnah waljamaah). Penyebabnya antara lain lemahnya paham akidah masyarakat dan tidak sampainya syiar Islam kepada masyarakat yang terpencil,” tegasnya.

Menurutnya, ada orang yang mengaku tokoh atau “ustadz” atau “guru besar” sedangkan wawasan ilmu keagamaan dan pengamalannya masih diragukan. Ada guru yang mengajarkan Kitab Barencong yang tidak jelas sanad keilmuannya dan tidak jelas juga sumber kitabnya.

Kalimantan Tengah disebut sebagai miniatur Indonesia. Kalimantan Tengah dikenal sebagai Bumi Tambun Bungai dan Bumi Pancasila. Masyarakatnya multikultural, terdiri dari beragam agama, suku, etnis, budaya, tradisi, dan bahasa. Kebhinnekaan, keberagaman dan perbedaan tersebut adalah satu keniscayaan yang diciptakan oleh Tuhan YME.

“Sangat penting dalam pencegahan paham radikalisme melalui peran keluarga dalam pembinaan keagamaan. Orang tua menyayangi anak-anaknya, dan anak-anak menghormati orang tuanya,” ungkapnya.

Kemudian, orang tua menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua bermusyawarah dengan anak-anaknya terkait masalah-masalah penting. Meningkatkan rasa kebangsaan dengan mengibarkan bendera merah putih di depan rumahnya selama bulan Agustus, dan mencintai produk UMKM (daerah atau dalam negeri). (CP)

Ucapan Selamat Lebaran Catatan 2024

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *