CATATAN.CO.ID, Sampit – Ratusan masyarakat Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), ramai-ramai datang berkumpul menyaksikan pembuatan bubur yang dikemas oleh pemerintah daerah dengan tajuk Festival Bubur Asyura, Minggu, 21 Juli 2024.
Puluhan tim dari berbagai persatuan dan organisasi yang membuat bubur di lokasi tersebut menjadi tontonan menarik bagi warga.
Masyarakat juga sengaja hadir agar dapat menikmati bubur yang bisa dikatakan hanya ada 1 kali dalam setahun, saat memasuki bulan Muharam.
Bubur Asyura sendiri adalah hidangan tradisional yang biasanya disajikan oleh masyarakat muslim di Indonesia, terutama pada hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Islam.
Bubur ini memiliki makna religius dan budaya yang mendalam, karena sering dikaitkan dengan peringatan berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam, termasuk kisah Nabi Nuh dan peristiwa Karbala.
Oleh sebab itulah, salah satu yang mejadi alasan Pemkab Kotim menggelar Festival Bubur Asyura. Karena bukan hanya menjaga tradisi, namun juga tertanam makna religius di dalamnya.
“Makna religius tersebut yang tentunya bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama umat muslim di Kotim ini,” ujar Wakil Bupati Kotim Irawati, saat menyampaikan sambutan dalam kegiatan tersebut.
Dirinya menyebutkan bahwa pembuatan Bubur Asyura sebenarnya banyak dilaksanakan di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, tetap ada perbedaan dari segi bahan dan cara pengolahannya.
Untuk di Kotim, banyak bahan yang digunakan, bahkan terbilang unik. Ada yang mengkombinasikan dengan sayuran, seperti kelakai, labu dan masih banyak bahan campuran lainnya.
“Pembuatan Bubur Asyura di Kotim sendiri banyak bahan yang dicampurkan, dan itulah yang menjadi keunikan tersendiri,” kata Irawati.
Proses pembuatan Bubur Asyura sendiri melibatkan memasak semua bahan bersama-sama dalam satu panci besar hingga menjadi bubur yang kental. Pembuatan bubur ini sering dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat sebagai simbol kebersamaan dan solidaritas.
“Kegiatan ini juga melambangkan Habaring Hurung, yakni bergotong royong dalam pembuatannya,” kata Irawati.
Dirinyapun berharap agar kegiatan ini selalu dilaksanakan setiap tahunnya. Dengan kemasan yang lebih meriah dan bisa menjadi sebuah daya tarik wisata religius di Kotim.
Karena, Bubur Asyura bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga lambang kebersamaan, rasa syukur, dan kepedulian sosial di kalangan masyarakat Muslim Kotim. (C3)