Pemkab Kotim Gandeng Kementerian untuk Penangkaran Buaya, Fokus Kurangi Konflik

Ilustrasi Pulau Hanibung, di Kecamatan Kota Besi, yang diwacanakan menjadi tempat penampungan buaya yang kerap meresahkan masyarakat.
Ilustrasi Pulau Hanibung, di Kecamatan Kota Besi, yang diwacanakan menjadi tempat penampungan buaya yang kerap meresahkan masyarakat.

CATATAN.CO.ID, Sampit – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) berkomitmen mengurangi konflik antara manusia dan buaya dengan menggandeng Kementerian Kehutanan untuk membangun fasilitas penangkaran buaya.

Bupati Kotim, Halikinnor, mengatakan bahwa pembangunan fasilitas penangkaran tersebut merupakan bagian dari upaya jangka panjang dalam mengatasi serangan buaya terhadap warga. Pemkab juga siap mengalokasikan anggaran dari APBD untuk mendukung penyediaan pakan buaya di penangkaran.

“Biasanya buaya kalau kenyang tidak akan memangsa manusia. Selama ini mungkin karena buaya lapar dan banyak aktivitas manusia di sungai, sehingga terjadi gangguan,” kata Halikinnor, Senin, 28 April 2025.

Selain rencana pembangunan penangkaran, Pemkab Kotim juga memprogramkan penyediaan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) dan air bersih di wilayah rawan konflik, seperti Samuda, Parepok, hingga Kecamatan Pulau Hanaut. Fasilitas ini diharapkan mengurangi ketergantungan warga terhadap sungai, yang selama ini menjadi titik rawan serangan buaya.

“Itu sudah kita programkan. Salah satunya dengan memastikan air bersih sampai ke wilayah-wilayah tersebut, agar masyarakat tidak lagi beraktivitas di sungai,” jelas Halikinnor.

Sementara itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resort Sampit mencatat bahwa mayoritas kasus serangan buaya di Kotim terjadi saat warga melakukan aktivitas MCK di sungai.

“Sejak tahun 2010 hingga 2025, tercatat 52 kasus serangan buaya, dengan delapan korban meninggal dunia. Sebanyak 41 kasus terjadi saat warga beraktivitas MCK atau berwudu di sungai,” ungkap Kepala BKSDA Resort Sampit, Muriansyah, Kamis, 24 April 2025.

Data tersebut juga mencakup tiga kasus serangan pada awal tahun 2025. Di antaranya, kasus di Desa Lempuyang, Kecamatan Teluk Sampit yang menyebabkan dua warga mengalami luka-luka, serta kasus di Desa Hanaut, Kecamatan Pulau Hanaut yang berujung korban meninggal dunia.

Menurut Muriansyah, meningkatnya konflik disebabkan oleh kerusakan habitat alami buaya yang berdampak pada berkurangnya ketersediaan pakan. Kondisi ini mendorong buaya mendekati permukiman karena terbiasa dengan aktivitas manusia di sungai.

“Ada tiga faktor utama yang menarik buaya ke permukiman, yaitu pemeliharaan ternak di tepi sungai, pembuangan bangkai hewan, dan sampah rumah tangga ke sungai,” terangnya.

BKSDA kini lebih mengutamakan edukasi kepada masyarakat agar mengurangi aktivitas di sungai, tidak membuang sampah atau bangkai ke sungai, serta tidak memelihara ternak di dekat perairan.

“Kami pernah menangkap buaya yang masuk permukiman, tetapi itu hanya solusi sesaat. Perubahan perilaku masyarakat adalah kunci utama,” kata Muriansyah.

Ia berharap dengan sinergi antara pemerintah daerah, kementerian, dan masyarakat, risiko konflik manusia dan buaya di Kotim dapat ditekan, sekaligus menjaga keselamatan warga, khususnya di sekitar Sungai Mentaya dan anak-anak sungainya.(C1/*)

 

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *