CATATAN.CO.ID, Sampit – Persoalan antara masyarakat Desa Tumbang Sapiri, Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Karya Makmur Abadi (KMA) terus berlanjut. Konflik tersebut kini telah sampai ke meja Dewan Adat Dayak (DAD) Kotim dan memasuki tahap mediasi ketiga, Kamis, 24 Juli 2025.
Warga menduga PT KMA telah melakukan pelepasan kawasan melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), namun tidak memenuhi kewajiban memberikan lahan plasma sebesar 20 persen dari total luas Hak Guna Usaha (HGU).
Tokoh masyarakat Tumbang Sapiri, Antoni, menjelaskan bahwa pelepasan kawasan tersebut tercantum dalam daftar rekapitulasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan di Jakarta pada 28 Mei 2018, dengan luasan mencapai 2.121,99 hektare. Hal ini merujuk pada SK Nomor 3/1/PKH/MA/2015 tertanggal 24 April 2015.
Antoni menegaskan, kewajiban 20 persen atau sekitar 440 hektare dari luas total HGU PT KMA seluas 9.397,15 hektare, diduga belum direalisasikan kepada masyarakat. Ia mengungkapkan, kesamaan nomor SK antara daftar TORA dan dokumen HGU menjadi bukti kuat bahwa lahan tersebut seharusnya disalurkan dalam bentuk plasma.
“Nomor SK daftar TORA itu identik dengan yang tercantum dalam SK HGU. Artinya, PT KMA memanfaatkan program TORA, tapi tidak memenuhi kewajibannya kepada masyarakat,” ujar Antoni.
Ia juga menolak jika perusahaan mencoba mengalihkan isu dengan menyebut keterlibatan Koperasi Tunjung Untung. Menurutnya, kemitraan melalui koperasi tersebut tidak ada kaitannya dengan kewajiban plasma yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
“Tanah masyarakat yang dimaksud hanya bentuk kemitraan, bukan plasma. Kalau tidak ada niat baik dari PT KMA, kami akan mengambil langkah-langkah lebih lanjut,” tegasnya.
Sementara itu, tokoh pemuda Tumbang Sapiri, Juliansyah, menilai pernyataan PT KMA dalam mediasi masih bias dan tanpa dasar kuat. Ia menyebut perusahaan tetap membantah telah menggunakan program TORA tanpa disertai verifikasi lapangan yang objektif.
“Bagaimana bisa mereka menyangkal tanpa ada pembandingan data di lapangan? Mereka menyebut sudah menunaikan kewajiban melalui Koperasi Tunjung Untung, padahal itu hanya pola kemitraan di luar izin HGU,” ungkapnya.
Juliansyah menegaskan bahwa PT KMA hingga kini belum pernah benar-benar melaksanakan kewajiban memberikan lahan plasma 20 persen kepada masyarakat Desa Tumbang Sapiri. Menurutnya, perusahaan hanya membentuk opini seolah sudah memenuhi kewajiban, padahal belum ada realisasi di lapangan.
“Kami harap perusahaan lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat, salah satunya dengan memberikan plasma baik melalui lahan TORA maupun non-TORA,” katanya.
Menanggapi perkembangan ini, Ketua DAD Kotim, Gahara, menyatakan akan membentuk tim investigasi independen untuk mengecek langsung objek-objek yang dipersoalkan di lapangan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT KMA belum memberikan tanggapan resmi atas konfirmasi yang diajukan oleh Catatan.co.id. (C20)